Keroncong Tanah Airku dan Kewarganegaraan Ganda



Keroncong Tanah Airku

Mendalam Lembah Curam
Di sela gunung meninggi
Suatu pemandangan
Tanah Airku Indonesia Elok Adil
Sungai-Sungai mengalir berliku
Melalui hutan yang menghijau
Menuju ke laut biru
Serta padi beralun mendesah
Dihembus angin nan menderu
Indah Tanah Airku
Indonesia Raya
Pujaan Bangsaku
Tanah airku yang kaya raya
Dengan Pemandangan Alamnya

Indonesia dalam lirik lagu Keroncong Tanah Airku adalah bentukan fisik yang menakjubkan, lembah-lembahnya, gunung-gunungnya, sungai-sungainya, hutan-hutannya, lautnya, kekayaan alamnya, dan pemandangan bentang alamnya. Ini juga yang sedang digerakkan oleh Kabinet Kerja Nyata Presiden Joko Widodo untuk Indonesia yang lebih maju yaitu dengan mengandalkan pembangunan fisik, infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, rel kereta api dan lain-lain. Hal itu dimaksudkan agar bentang alam Indonesia yang terdiri dari lembah, gunung, pulau, lautan, sungai, dapat dijelajahi dengan lebih baik agar roda pembangunan (maksudnya transportasi dan distribusi barang) bisa lebih baik lagi, sehingga terjadi pemerataan pembangunan.

Di bidang sumber daya manusia, didengungkan pula Revolusi Mental, yang tujuannya seperti pidato Bung Karno, salah satu bapak pendiri bangsa ini, adalah untuk menimbulkan manusia baru dalam artian semangatnya berusaha dan berupaya bagi Indonesia yang lebih baik, lebih maju, dan tidak ketinggalan dari bangsa-bangsa lain di dunia. Secara tepatnya bisa dibaca di sini.

Sebenarnya, ada detail yang kurang di sini. Manusia Indonesia sama dengan bentang alamnya yang beragam. Dari sisi kesukuan atau etnis, keturunan, agama, gender, dan atribut macam-macam yang bisa digunakan untuk membedakan mereka. Seharusnya, dalam rangka mewujudkan manusia baru itu, maka seluruh perbedaan itu dirangkul. Kita, bangsa Indonesia, tidak lagi mempersoalkan macam-macam atribut yang bisa digunakan untuk membedakan antara kita. Kita sudah lama jadi satu bangsa - Indonesia.

Kalau diributkan, maka yang terjadi hanyalah perpecahan. Belum kalau menyangkut soal kekayaan alam, yang ada tetaplah gontok-gontokan. Orang Aceh akan selalu meminta hak mereka dari gas alam yang dijual. Orang Kalimantan pada batu bara dan minyak bumi, demikian pula dengan Riau dengan minyak bumi dan perkebunan, orang Papua dengan emas dan tembaga serta uraniumnya. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Dulu, orang Tionghoa diwajibkan mengganti nama dan mendaftarkan diri untuk mendapat surat keterangan sebagai warga negara Indonesia. Mungkin sebenarnya ini adalah suatu politik balas dendam dari bangsa ini akibat ketika VOC masih menjajah bangsa Indonesia di mana orang Tionghoa menjadi warga negara kelas kedua bersama orang Arab dan India, dan pribumi yang punya kedudukan, sedangkan rakyat bangsa pribumi lainnya adalah warga kelas ke tiga atau paling rendah. Belum lagi kecurigaan atas politik atau dasar kewarganegaraan Tionghoa yang menganut hukum asal usul alih-alih tempat kelahiran seseorang.

Persoalan kewarganegaraan ganda yang sekarang mencuat sebaiknya oleh pemerintah disikapi dengan bijak. Sebelum kejadian Arcandra dan Gloria, masih diingat atlet-atlet bulutangkis kita yang sulit mendapatkan kewarganegaraan mengingat mereka keturunan Tionghoa atau bernama Tionghoa. Belum berapa lama, wajah persepakbolaan negeri ini juga dijejali nama-nama asing yang dengan alasan ingin atau akan memperkuat tim nasional bertanding pada level ASEAN atau Asia yang lalu dinaturalisasi. Proses naturalisasi itu terasa begitu mudah. Dengan begitu, rasanya langkah untuk menunggalkan kewarganegaraan dari warga negara asing menjadi warga negara Indonesia seharusnya tidaklah dipersulit.

Yang lucu, dan berkembang saat ini, adalah bila ada orang yang keturunan Indonesia berada di pentas internasional maka hampir seluruh orang Indonesia merasa bangga.  Seperti contohnya Radja Nainggolan yang pemain sepakbola dari klub AS Roma yang notabene WNB (warganegara Belgia) atau mungkin ada yang masih ingat dengan penyanyi Michelle Branch yang konon ibunya dari Surabaya?

Semoga melalui keroncong Tanah Airku, kita semua diingatkan bahwa perkara Indonesia bukanlah soal fisik saja, tetapi lebih pada kemauan, semangat, dan jiwa sebagai bangsa Indonesia.

Jakarta, Agustus 2016

Komentar