Lagu
karya A.T. Mahmud ini bisa dikatakan lagu tentang anak yang takut tidur
di dalam gelap. Dia melihat bulan dan membayangkan kalau dia bisa tidur
dalam keadaan seperti langit malam yang sebenarnya tidak gelap karena
adanya bulan. Dalam lagu itu, anak tersebut begitu dekat terhadap
ibunya. "Ambilkan bulan, Bu," demikian permintaannya. Kedekatan seorang
anak dengan orang tuanya adalah hal yang harus dipelihara dari kecil
hingga mereka dewasa kelak.
Memahami perkataan Kahlil Gibran
bahwa "Anakmu bukanlah anakmu..." bukan berarti menyangkali kedekatan
anak dan orang tua. Karena perkataan itu ditujukan buat orang tua, bukan
untuk anaknya. Orang tua sah-sah saja memperlakukan anak sendiri
seperti orang lain karena nanti ketika mereka dewasa secara alami juga
akan berlaku sebagai orang lain terhadap orang tuanya karena pemahaman
dan pemikirannya. Tapi sebelum itu terjadi, sejak dini, dia harus
diberikan perlakuan agar dia selalu merasa dekat dengan orang tuanya.
Anak-anak yang tumbuh dekat dengan orang tuanya tentu punya pintu
keluar otomatis jika sedang mengalami masalah. Contohnya seperti lagu
tadi. Ketika dia takut gelap, dia dengan mudah merajuk ibunya, "Ambilkan
bulan, Bu." Orang tua seharusnya bisa menjadi pengayom, pemberi saran,
dan mungkin konsultan dikarenakan pengalamannya lebih banyak
dibandingkan mereka. Contoh lain yang sering terjadi adalah
kebablasannya para remaja dalam hal pacaran karena orang tua biasanya
tidak tahu pengetahuan anak-anaknya dalam hal seksualitas. Mereka pikir
pacarannya paling hanya sebatas pegang tangan atau cium kening dan pipi,
tapi nyatanya?
Ketakutan pemerintah timbulnya hal-hal buruk
terjadi pada generasi muda, menimbulkan wacana full day school atau
bersekolah sehari penuh. Pertama, yang saya sangat disayangkan bahwa
menteri pendidikan nasional menggunakan istilah berbahasa Inggris dalam
dunia pendidikan Indonesia, ini nggak banget deh. Sedangkan yang
kedua, yang berhubungan dengan lagu "Ambilkan Bulan, Bu" adalah wacana
bersekolah sehari penuh itu akan menimbulkan keberjarakan pada kedekatan
orang tua dan anak. Kalaupun sudah terjadi keberjarakan seperti dengan
timbulnya seks bebas di kalangan remaja, maka wacana itu akan menambah
lagi keberjarakan itu.
Katakanlah yang hendak ditangkal adalah
bibit-bibit radikalisme dengan mewacanakan adanya keterlibatan pengajar
agama dalam wacana bersekolah sehari penuh apakah ada jaminan bahwa
pengajar agama yang didatangkan ke sekolah itu juga sudah terbukti tidak
punya agenda tersembunyi (bukan berkaitan dengan radikalisme saja,
mungkin aliran tertentu atau bahkan hal-hal lain) yang bisa saja
bertolakbelakang dengan yang diajarkan sebelumnya di dalam keluarga?
Yang patut dikedepankan, dalam memperbaiki bangsa ini adalah membangun
masyarakat supaya sadar hukum dan norma-norma yang berlaku. Sehingga
misalkan ada sepasang remaja mau ke tempat yang dirasa sepi, ada warga
yang menasehati agar tidak ke sana atau menyuruhnya pulang. Demikian
juga jika ada orang yang berkumpul tanpa ada izin dari RT setempat harus
dilaporkan, dan lain-lain.
Dan biarkanlah anak tumbuh dan
berkembang dalam kehangatan keluarga. Bersekolah sudah cukup 5-6 jam
saja, selebihnya anak diajarkan ketrampilan, kesenian, budaya, dan
kesadaran lingkungan yang bisa diperoleh di luar sekolah. Toh, persoalan
di sekolah yang cenderung homogen malah tidak bisa membentuk karakter
seorang anak, karena lingkungan dengan orang dan masalah yang lebih
kompleks justru menjadi pembentuk dari karakter seseorang.
Saya
punya teman yang waktu di sekolah (menurut saya) biasa-biasa saja,
setelah sekian puluh tahun tidak ketemu, baru tahu kalau dia bisa
menjadi seorang berpangkat tinggi di bidang kemiliteran. Ada lagi yang
dulu bersaing dalam nilai-nilai pelajaran malah asyik membengkel.
Padahal dulu saya pikir dia akan bergelar doktor atau profesor. Jadi,
hemat saya, sekolah dan pengalaman di sekolah, bukanlah satu-satunya
tempat dan cara untuk membentuk karakter dan hidup seseorang.
Mungkin perlu dicermati juga berita kemarin-kemarin mengenai seorang
siswa yang terbukti pintar di sekolahnya, sempat ikut olimpiade
keilmuan, kemudian menghilang dari kampus. Dugaan sementara dari pihak
yang berwajib, dia ikut organisasi radikal. Nah, mungkin bisa
ditelusuri, dari mana informasi mengenai organisasi radikal itu dia
peroleh, hingga bisa diputuskan apakah memang perlu jam bersekolah di
tambah sampai sehari penuh?
Komentar