Mural, Baliho, Grafiti, atau Ngomong di Media Sosial?

 


PASAL 28 Undang-Undang Dasar 1945 jelas mengatur kebebasan bagi warga negara untuk menyatakan pendapatnya. Bahkan turunan dari pasal itu, untuk melakukan demonstrasi pun ada aturannya! Ane ingat waktu mau menyelenggarakan Asian Games 2018 lalu, hampir semua tembok nganggur di kampung-kampung padat penduduk di Jakarta digambarin mural! Kagak ada tuh orang diminta permisi, izin dulu sama yang punya / yang bikin tembok. Asal (dianggap) nganggur tiba-tiba datang sekelompok orang (kalo gak salah petugas PPSU) coret-coret bikin gambar di tembok itu.

Kalau menurut ilmu komunikasi, tembok yang dicoretin, digambar-gambar, termasuk juga dengan baliho atau poster atau bilboard di jalan-jalan, atau suara kita yang disiarkan di media sosial, itu semua hanyalah media untuk berkomunikasi. Untuk mengungkapkan pendapat atau opini kita. Kalau ternyata bikin orang lain gerah, tidak senang, atau bahkan marah, ya artinya pesan itu sampai!

Tinggal bagaimana kita sebagai warga negara melihat apa tanggapan dari orang-orang itu dalam menyikapinya. Kalau sampai menghapus, artinya mereka tidak ingin pesan itu terlihat lagi. Dan itu bukan suatu tahap akhir dari sebuah respon. Tentu kita pernah dengar cerita orang yang memberi ikan atau memberi kail pada orang yang kelaparan. Kalau menurut ane, menghapus mural dan grafiti tentang kondisi warga pada saat pandemi ini, bukanlah kedua-nya, alias tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Dan buktinya, ketika banyak mural dan grafiti dihapus, malah muncul lomba mural sebagai protes.

Ada baiknya, bagi yang ngeluh lapar ya kasih ikan atau kail dan yang ngeluh sakit kasih obatnya. Dengan begitu, mural-mural atau grafiti-grafiti itu akan menghilang. Gitu 'deh!


Komentar