Uang; Alat atau Tujuan?



Seorang teman menulis pada status media sosialnya "Siapa bilang nyari uang itu susah...?" dan menempelkan sebuah gambar tangkapan layar ponselnya dimana ia mendapatkan pesan dari sebuah nomor yang memberitahu bahwa si penerima pesan mendapatkan hadiah uang sebesar 125 juta rupiah!

Saya tahu bahwa hal itu tentu saja upaya penipuan, biasanya tidak harus berbentuk uang, tapi mereka paling tidak mengincar data diri kita seperti alamat email, nomor telepon, alamat, bahkan sampai nama gadis ibu kandung. Data itu selanjutnya bisa digunakan untuk pihak penipu untuk mendapatkan kartu kredit atau pinjaman atau hal-hal yang berhubungan dengan finansial atau keuangan.

Oleh berapa orang yang kreatif, meladeni penipuan, khususnya yang menggunakan telepon, bisa menjadi konten video. Ujung-ujungnya, biasanya, akan banyak kata umpatan terdengar setelah pihak penipu mengetahui aksinya malah dijadikan bahan candaan. Salah satu video yang sempat saya lihat karena viral adalah oknum penipu yang mengaku sebagai polisi menelepon korban yang kebetulan anggota brimob.


Ya, status teman itu mengingatkan bahwa selalu ada jalan orang untuk mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal. 

Namun selain itu, info seperti itu mengingatkan saya pada weselpos. Saya pertama kali mendapatkan weselpos itu ketika masih sekolah dasar. Nilainya kalau tidak salah sekitar 250 rupiah. Saya mendapatkannya karena sepupu saya dari pihak keluarga bapak iseng mengisi teka teki silang di surat kabar kompas dan menggunakan nama saya sebagai pengirim. Weselpos lainnya, saya terima sewaktu sudah mahasiswa, tetapi bukan dari orang tua, melainkan dari surat kabar Republika di mana karikatur saya dimuat dan mendapatkan honorarium sebesar 60 ribu rupiah. Ketika mendapatkan weselpos yang biasanya disertai tulisan pada kolom kabar yang menyatakan kita sebagai pemenang lomba ataupun uang yang dikirimkan adalah honorarium dari suatu pekerjaan, biasanya yang kita lakukan adalah pergi ke kantor pos terdekat, menyerahkan weselpos yang biasanya sudah kita sobek bagian kabar-nya itu, lalu mendapatkan uang senilai yang tertera pada weselpos itu.


Kenapa saya teringat weselpos karena status teman itu? Karena keduanya adalah berita bahwa kita mendapatkan uang. Bedanya weselpos, sama seperti bukti transfer dari bank (sekarang sudah mulai sedikit digerus oleh pesan elektronik pada mobile banking jika ada dana masuk) yang kemudian bisa dibawa ke pihak terkait (kalau weselpos ke kantor pos & giro, kalau bukti transfer kita bisa bawa buku tabungan - kalau yang tidak punya kartu atm - ke kantor cabang bank terdekat, atau jika yang suda ada punya kartu atm tinggal ke mesin atm terdekat), lalu kita sudah bisa membawa uang sejumlah yang ada dalam kabar itu di dalam dompet atau saku kita.

Seandainya upaya penipuan lewat pesan itu bisa dilaporkan dengan cara semudah kita membawa weselpos atau bukti transfer tadi ke pihak operator telekomunikasi tentu pihak-pihak yang sering mengganggu kenyamanan kita dengan upaya jahat mereka akan semakin berkurang. Sayangnya, hal itu masih terlalu rumit. Tadinya, saya bayangkan begini; jika mendapatkan pesan itu, lalu kita laporkan dengan bukti tangkapan layar pesan tersebut ke pihak telekomunikasi terkait, mereka, sang operator akan dengan cepat "mematikan" nomor yang digunakan untuk mengirim pesan itu. Dan tidak semudah itu ternyata, Fergusso! Intinya, di mata hukum negara ini, seorang dinyatakan sebagai korban penipuan jika memang sudah tertipu. Jika belum ada dana ditarik dari rekening kita, meski kita tahu bahwa upaya mereka adalah penipuan, kita belum bisa menyatakan diri sebagai korban penipuan.

Padahal, kalau saja mau, operator telekomunikasi kita membantu membersihkan nomor-nomor pelanggan mereka yang nakal & jahat itu, tentulah semudah kita bawa weselpos ke kantor pos & giro. Begitu mereka melihat nomor pelanggan mereka, melihat isi pesannya, sebenarnya tinggal mereka telepon nomor itu dan beritahukan, "Pulsa Anda akan berkurang sebesar 125 juta rupiah (misalnya, seperti pesan di atas) mulai tanggal sekarang, bayar atau nomor Anda akan tidak bisa digunakan!"

Sebelum menulis ini, saya sempat melihat potongan video motivasi tentang cara orang miskin berpikir saat mendapatkan uang banyak. Menurut pembicara dalam video itu, seorang perempuan dengan wajah mirip perpaduan antara Ibu Sri Mulyani dan Mbak Desy Anwar, mohon maaf karena saya tidak tahu namanya, berkata bahwa mental orang miskin ketika mendapatkan banyak uang adalah untuk membeli barang. Sebanyak-banyaknya, semewah-mewahnya, tanpa berpikir barang itu benar-benar secara fungsional dia perlukan atau tidak. Itu yang membedakan orang miskin dan orang kaya, menurutnya. Sedangkan orang kaya cenderung akan menjadikan uang yang banyak itu sebagai modal usaha lagi. Karena itu tidak heran pengusaha itu memiliki banyak usaha sebagai sumber pendapatannya.

Namun, malam kemarin, saya berbincang dengan bagian keuangan yang sedang pusing karena banyak tagihan yang "nyangkut" belum dibayar. Dia bilang, mending punya usaha yang dekat tempat hidupmu saja, dan yang kamu sukai saja. Jangan coba-coba terlalu serakah ingin investasi sana-sini terutama jika tidak mengerti usaha atau perusahaan apa yang ingin kamu lakukan investasi ke atasnya. Karena jika melakukan hal semacam itu, kamu akan capek sendiri. Pusing!
 
Dua hal itu meski tidak terlalu bertentangan cukup membuat saya yakin bahwa dengan uang itu cukup seperlunya saja. Mau investasi, cukup. Mau pelesir, cukup. Mau main-main, juga cukup. Tidak perlu berlebihan.

Bukan begitu, Bro?

Komentar