Antara Ketapel dan Salam dari Binjai

Bermain ketapel bukan sesuatu yang sangat permisif, mungkin jika ia tayangan televisi, maka akan mendapatkan rating BO, yang artinya, "(dengan) Bimbingan Orangtua" mengingat bahayanya bermain ketapel. Setingkat di bawahnya adalah permainan senjata bambu. Namun, anak-anak masih sering membawa ketapel ke kebun, sawah, atau ladang. Pelurunya bisa pecahan genting, kerikil, atau tanah liat yang dibuat bulat dan dikeringkan.

Sasaran dari permainan ketapel adalah buah-buahan, tupai, ular, atau kelelawar. Namun seringnya buah-buahan yang masih menggantung di pohonnya. Utamanya mangga dan jambu.



Semakin ke sini, ketapel tidak hanya dibuat dari kayu. Beberapa anak membuatnya (tentu dengan dibantu orangtuanya) dengan menggunakan bahan besi jeruji. Ditekuk-tekuk, dilas, sampai terbentuk seperti huruf Y, lalu diberi karet pentil sebagai tali, dan kulit sebagai pengumban, tempat peluru diletakkan.

Bermain ketapel tidak pernah dilakukan berlawanan antara dua kelompok anak. Kebanyakan justru individual. Paling banyak empat - lima orang. Pergi ke kebun yang banyak pohon buah yang sedang lebat-lebatnya berbuah, lalu beraksi. Terutama mengincar buah-buahan yang mengkal yang berada dalam gerombolannya, pada cabang-cabang pohon yang jauh. Atau pada jajaran pohon kelapa, kami mengincar tupai yang sedang makan.

Meski tidak seperti Pak Raden dalam serial boneka Si Unyil, hampir tidak pernah kami dimarahi para pemilik pohon. Paling dinasehati agar berhati-hati supaya baik peluru maupun buah yang jatuh tidak terkena kepala orang yang sedang lewat. Kalaupun ada tupai jatuh, biasanya dilihat apakah tupai itu masih bisa dipelihara atau harus berakhir di perapian sederhana sebagai lauk makan siang.

Yang seringnya marah-marah melihat rombongan pe-ketapel justru orang-orang yang merasa genting rumahnya pecah imbas dari peluru kerikil atau pecahan genting dari ketapel rombongan sebelum kami. Jika sudah bertemu orang yang begitu, kami lari, mengurungkan niat bermain ketapel di daerah mereka.

Salah satu manfaat dari memunyai ketapel yang saya rasakan adalah saat kakak perempuan saya menderita sakit kulit. Kata orang, kulitnya bisa sembuh jika diberi makan kadal. Maka tiap pulang sekolah, saya keluarkan ketapel dan pergi ke sawah untuk berburu kadal.

Biasanya, kadal berada di dekat gerumbul pohon pisang. Di sekitar pohon pisang biasanya ada sedikit luasan tanah di mana orang buang sampah. Entah mana lebih dulu ada sebenarnya, sampah itu, pisang, atau kadal, tapi ke tempat seperti itulah biasanya saya "memancing kadal." Caranya, berdiri sedikit jauh, lalu melemparkan kerikil ke timbunan sampah. Kadal yang lugu akan mengira ada mangsa, dan ia keluar dari sarangnya.

Begitu bisa terlihat, kerikil dari ketapel akan segera meluncur ke arahnya. Meski tidak terlalu lihai, saya bisa membawa pulang tiga sampai lima ekor kadal yang kemudian disiangi untuk dimasukkan ke dalam bakso, supaya kakak perempuan saya tidak geli atau jijik memakannya.

Gerumbul pohon pisang di sekitar ladang dan sawah selain berfungsi untuk persembunyian kadal, juga tempat kami mengaso dari bermain. Daun pisang yang lebar bisa dipotong untuk dijadikan alas duduk kami saat membakar burung atau tupai hasil buruan. Belum jika masih ada energi, kami gunakan batang pelepah pisang untuk membuat aneka mainan. Senjata-senjataan sampai perahu-perahuan yang kami luncurkan ke sungai pengairan sawah terdekat.

Karena itu saya merasa masygul saat video "Salam dari Binjai" itu muncul, di mana pohon pisang hanya dijadikan samsak sampai roboh tanpa menjadi hal yang menarik dan lucu. Apa lucunya sih orang memukul batang pisang? Bukankah lebih lucu melihat dua kelompok anak saling memainkan peran dalam peperangan dengan pelepah pisang pada sebuah ladang?

Seingat saya, dulu, hanya pemuda patah hati dan setengah mabuk yang memukuli pohon pisang. Itupun sambil berteriak-teriak dan menangis. Dan jika mengenang itu, masih terasa lucu, sebab dia berkali memukul, berkali pula terdorong jatuh.

Salam Ketapel (kenangannya tampak pelan-pelan)!

Komentar