Empati, antara Konten dan Realitas


Sulit memang sekarang ini untuk membedakan mana yang benar-benar tulus dan mana yang diupayakan menjadi konten media sosial karena maraknya apa yang dinamakan "Social Experiment." Dalam hal yang dimaksudkan sebagai eksperimen sosial biasanya ada pihak yang memberi bantuan atau pertolongan kepada pihak yang dinilai perlu dikasihani. Belum lagi, eksperimen sosial juga biasanya menjadi bagian dari apa yang dinamakan sebagai marketing promotion sebuah brand atau produk.

Kekuatan dari marketing promotion berbentuk eksperimen sosial adalah cerita. Sebuah story telling. Ada kisah yang dijual untuk mendatangkan simpati dan empati dari pemirsa yang pada akhirnya membuat mereka merasa bahwa brand atau produk tersebut memiliki nilai-nilai yang lebih dari sekadar jualan keunggulan produk tersebut dibandingkan dengan kompetitornya.

Pada dasarnya, menurut Paul Eckman, seorang ahli psikolog asal Amerika Serikat, manusia memiliki enam buah ekspresi dasar yaitu; bahagia, sedih, takut, jijik, marah, dan terkejut. Eksperimen sosial biasanya menyasar pada sedih dan bahagia, sekaligus. Sedih, diutamakan agar pemirsa mengeluarkan perasaan empati terhadap "si korban" dalam eksperimen sosial itu, dan bahagia agar akhirnya pemirsa bisa bersimpati pada brand atau produk tersebut.

Baru-baru ini, ada video yang direkam (entah juga seolah-olah direkam karena kebetulan) oleh seseorang di gerai minuman ternama. Dalam video itu, ada dua anak kecil (satu perempuan dan satu lagi adiknya, karena lebih kecil badannya, laki-laki) yang bermaksud membeli salah satu varian minuman dari yang tersedia di menu gerai tersebut. Dia bilang pada pelayan hendak membeli varian minuman paling murah.

Pelayan gerai, yang seorang perempuan bertopi hitam, menyebutkan bahwa harga minuman paling murah di gerai yang dijaganya senilai Rp. 22.000 (dua puluh dua ribu rupiah). Anak perempuan itu meminta waktu agar ia menghitung uang di dalam kantung plastik yang dia bawa. Ketika anak perempuan itu menghitung, pelayan gerai menanyakan beberapa hal kepada anak perempuan itu seperti mereka itu dari mana, bersekolah atau tidak, dan mengapa mereka ingin minuman di gerai tersebut.

Jawaban dari anak perempuan itu membuat pemirsa kemudian berempati, mengingat mereka berdua datang ke mal tempat gerai dengan menumpang angkutan umum dan mendapatkan uang untuk membeli minuman itu dari hasil mengamen. Kedua anak tersebut juga tidak lagi bersekolah. Dan selesai menghitung uang miliknya, anak perempuan itu mengatakan bahwa uangnya hanya sejumlah Rp. 10.000 saja. Ia pun berkata kepada pelayan untuk bisa membeli separuh dari minuman itu untuk dia bagi dua dengan adiknya.

Selanjutnya, yang terjadi adalah pelayan perempuan itu meminta anak tersebut untuk menyimpan uang hasil mengamennya, bahkan ia mengatakan akan membuatkan dua porsi minuman yang sama untuk anak perempuan itu dan adiknya. Untuk memastikan menu yang dibuatnya, pelayan itu kembali bertanya pada anak perempuan itu, mau minuman yang apa? Yang lagi-lagi dijawab oleh anak perempuan itu, "Yang paling murah saja, Kak!"

Kejadian seperti ini memang banyak terjadi di sekitar kita. Terlepas dari apa yang diinginkan oleh mereka yang tidak punya kemampuan untuk membelinya. Dan sememangnya melihat hal seperti ini, kita harus berempati kepada mereka.

Melihat video seperti itu, saya tidak ingin menjadi seorang netizen yang julid yang bisa saja mengatakan bahwa video itu dibuat sebagai marketing promotion dari gerai minuman tersebut. Meskipun memang bisa saja begitu sebenarnya mengingat nama gerai minuman itu cukup lama terlihat dalam video tersebut. Saya hanya membayangkan bagaimana jika itu adalah peristiwa yang nyata.

Sewaktu kuliah, saya pernah tidak punya uang sama sekali untuk makan. Ini terjadi ketika bulan Ramadhan, dimana banyak teman yang malah mendapatkan uang saku dan suplai makanan untuk berbuka dan bersantap sahur dari orang tuanya. Beberapa teman asal Sumatera Barat biasanya mendapat kiriman rendang kering dalam wadah kaleng biskuit besar! Lalu, bagaimana saya bisa selamat dari kelaparan itu selama sebulan?

Dalam minggu pertama, saya mohon kepada teman-teman untuk bisa berbuka puasa bersama. Saya mengajukan diri untuk memasak dan belanja. Hasilnya, ada sekitar kurang lebih sepuluh teman yang bersedia. Seminggu pertama, saya bisa makan. Minggu berikutnya, dengan banyaknya teman yang sudah mulai pulang kampung, saya mencari pekerjaan lepas. Waktu itu, ada yang bekerja di sebuah proyek pembangunan, dan saya diminta melakukan inventarisasi bahan bangunan yang keluar dari gudang. Dari bekerja itulah saya mendapatkan uang harian yang bisa saya gunakan untuk makan setiap hari.

Menjelang Idul Fitri, semakin banyak teman yang pulang. Tak kehilangan akal, saya pun menyediakan diri untuk menjaga rumah para alumni yang ditinggal pulang kampung. Tidak perlu diupah, asal disediakan bahan makanan yang cukup untuk bisa makan sampai mereka pulang kembali ke rumah.

Punya kehidupan yang sulit di masa remaja, membuat saya bersyukur. Paling tidak, selalu ada dalam diri saya rasa untuk berbagi dengan yang lain. Meskipun akhir-akhir ini jarang sekali yang meminta bantuan saya, tapi saya tak pernah berpikir panjang untuk bisa berbagi. Toh, berbagi tidak merugikan diri, malah menambah keuntungan dalam rangka silaturahmi.

Yang unik, membahas mengenai haruskah kita berempat dan bersimpati, terutama di dunia digital seperti sekarang ini, ada yang berpendapat begini; "Jangan terlalu cepat menyikapi, karena bisa jadi, orang yang kita anggap punya masalah itu pada dasarnya merasa dirinya tidak bermasalah!" Karena, menurutnya, ada juga orang yang tidak mau dibantu atau merasa harus dikasihani dengan masalah yang dimilikinya itu.

Sebenarnya, sikap seperti itulah yang perlu kita khawatirkan, haruskah kita mencermati lebih dahulu dari fenomena atau peristiwa yang terjadi, baru kemudian memutuskan untuk bersikap empati atau bersimpati, atau apakah memang kita sudah kehilangan intuisi untuk membedakan apakah peristiwa itu benar-benar sebuah realitas atau memang konten belaka?

Jika sudah begitu, rasanya yang perlu kita persoalkan adalah betapa kepalsuan atau hoaks itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kita saat ini. Karena hoaks yang membuat betapa kabur batas realitas dan kepalsuan. Dan dengan demikian, sepertinya kita perlu menambahkan "hoax checking" dalam pemikiran kita saat menerima informasi berupa potongan peristiwa nyata setiap harinya.

Rasanya kok benar-benar merepotkan, ya?

Komentar