Jangan Teratur Banget, Deh!

Istilah "Turba" yang merupakan akronim "Turun ke Bawah" adalah sebuah istilah yang sering didengar pada masa Orde Baru (Orba) bersamaan dengan istilah "Waskat" yang akronim dari "Pengawasan Melekat." Hal ini dihubungkan dengan pejabat dari pusat (baca saja Jakarta) entah dari legislatif maupun yudikatif yang datang ke daerah-daerah untuk menyerap aspirasi dari masyarakat atau mengawasi jalannya kebijakan pemerintah dan pembangunan yang dilaksanakan di daerah tersebut.

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa pola kebijakan kita pada masa itu sangatlah terpusat. Trickle down economy menjadi semacam jebakan bahwa kekayaan dari daerah mengalir dulu ke pusat baru diteteskan ke daerah, di samping pengertian lain bahwa pajak dari para pengusahalah yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi masyarakat umum.

Dan sama seperti kegagalan pada tingkat pendapatan pajak dari para pengusaha, perimbangan pertumbuhan ekonomi pusat dan daerah juga selalu mengalami ketimpangan dari masa ke masa selama pelaksanaannya.

Di kota asal saya, istilah "turba" seringnya diplesetkan maknanya menjadi aktivitas jalan-jalan belaka. Teman yang dianggap sukses oleh teman lainnya ketika mengunggah kegiatan menyambangi lokasi wisata sering disebut, oleh teman-temannya, sedang melakukan turba. Plesetan itu memang tidak berlaku umum. Hanya berlaku pada kalangan tertentu. Sebab takut ada yang tersinggung.

Ketersinggungan seseorang, barangkali, adalah hal yang patut dijaga di era teknologi informasi yang serba terbuka dan menembus batas ruang-ruang privat kita. Hal ini karena di Indonesia ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) khususnya pasal 27 ayat 3 yang mengatur soal pencemaran nama baik seseorang melalui distribusi dan transmisi elektronik. Karena itu, lebih baik, plesetan dan penyematan istilah-istilah itu haruslah dilakukan dengan bijak. Apalagi sesuai penjelasannya, orang yang dianggap melakukan pencemaran nama baik bisa mendapat hukuman 4 tahun penjara atau denda sebesar-besarnya tujuh ratus lima puluh juta rupiah!



Terkait dengan plesetan. Pada masanya, plesetan menjadi komoditas dalam lawak di tanah air. Menurut Anang Dwi Yatmoko alias Anang Batas yang dijuluki Raja Plesetan, perilaku menggunakan kata-kata yang tak semestinya atau plesetan ini sudah ada sejak zaman Mataram Kuno. Dalam Prasasti Kuti ada tertulis tentang abanol salahan, yang jika diterjemahkan secara sederhana adalah melawak dengan kata-kata yang keliru. Jadi pada masa dulu itu, plesetan yang adalah seni rakyat diakui juga oleh kerajaan atau negara.

Entah disengaja atau tidak, plesetan memang seringnya bertujuan selain memancing orang tertawa juga kesal. Namun kesal di sini bukan berarti dengan amarah, lebih karena merasa telah dirugikan memberi perhatian ternyata yang diperhatikan adalah hal yang sangat remeh atau sangat sepele. Contohnya seorang memberi gambar tiga buah kemasan saset minuman serbuk Nutrisari yang ditempelkan pada gambar empat buah minuman serbuk yang sama tapi dengan tulisan "Nufoursari." Tentu bagi yang menyukai humor bisa segera menanggapinya dengan emoticon orang tertawa, namun bagi yang setelah sekian lama baru mengerti perbedaan dua gambar tadi pasti akan merasa dongkol dan menulis "kzl" yang berarti kesal di kolom komentar.

Humor adalah upaya mencandai kehidupan. Humor seringnya bersifat "out of the box" karena memang keluar dari keteraturan, dari aturan, dari kekangan. Jika hidup terlalu dibawa serius, tentu semua hal dirasakan haruslah benar pada tempatnya. Sebagai seorang yang ditengarai menderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder), saya tahu bagaimana rasanya tidak menarik hidup yang harus selalu teratur dan rapi. Dan orang seperti saya ini sangat mudah ditebak alogaritmanya oleh mesin kecerdasan buatan karena kebiasaan menyukai keteraturan itu. Padahal, hidup sejatinya tidak pernah seteratur itu. 

Komentar