Barangkali di Sana Ada Jawabnya



Sepenggal lirik lagu dari Ebiet G. Ade yang berjudul "Berita kepada Kawan" yang saya jadikan judul dari tulisan ini tidak semata-mata menunjuk kepada ketidaktahuan. Menilik ujaran lama, orang yang bijak adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu. Karena itu, ia akan belajar dan mencari tahu bagaimana memperluas wawasan agar yang tadinya ia tidak mengetahui akan hal itu berubah menjadi tahu dan paham akan hal tersebut.

Di zaman media sosial seperti sekarang ini, banyak pihak yang justru kebalikan dari ujaran lama tersebut. Merasa tahu padahal tidak tahu atau tidak paham duduk masalahnya, yang penting bersuara saja dulu. Soal benar atau tidak pengetahuannya tentang hal tersebut, itu urusan belakangan. Bahkan sangat lazim jika seseorang memperlihatkan betapa luas wawasannya sehingga untuk banyak hal ia akan bersuara, menyatakan pendapatnya.

Sebagai sindiran, warganet memberi pasemon, "Tunggu tanggapan dari Lesti." Meski tidak terjadi hal yang semacam itu, tidak ada hal yang ditanyakan kepada Lesti Kejora, pemenang ajang pencarian bakat penyanyi dangdut di televisi swasta itu. Sudah begitu, pendapat dari warganet yang belum tentu tahu, belum tentu paham, belum tentu benar pendapatnya, juga banyak dikutip oleh media lantas dianggap sebagai berita.

Padahal, untuk bisa menjadi berita, syaratnya jelas; 5 W + 1 H, di mana kejadian tersebut haruslah bisa didetailkan, ditelisik sumber dan kronologisnya, tempat kejadiannya, siapa saja yang terlibat dan bagaimana bisa kisah yang jadi berita itu bisa sampai harus diceritakan kepada orang lain.

Lagu "Berita Kepada Kawan" mengandung berbagai dugaan dari si aku lirik, namun ia tidak lantas menjadi penyimpul cerita, tidak mau menghakimi, ia hanya berbagi pengalamannya melihat tanah yang tandus juga gembala kecil yang menangis karena kematian orang tuanya. Bahkan ia menggunakan banyak kata "mungkin" untuk menyampaikan dugaan dan perasaannya, serta menceritakan apa yang ia resahkan dengan bertanya kepada banyak hal lainnya.

Bisa dikatakan aku lirik dalam lagu itu mencoba untuk tetap bijak dan bodoh (dalam artian positif) terhadap masalah yang ia hadapi. Semata agar ia tidak jatuh sebagai orang yang menghakimi suatu peristiwa dengan isi kepalanya sendiri. Hal ini yang sekarang semakin jarang terjadi.

Menyaksikan penggalan dialog (atau debat) bertajuk Indonesia Lawyer Club yang dulu di televisi sekarang dalam format siniar digital, seorang politisi menghakimi politisi lain, yang tidak ada di tempat itu, dengan kabar yang ia dengar dari orang lain. Padahal, mereka berada dalam satu atap partai yang sama. Ini suatu hal yang aneh menurut saya. Mengapa persoalan internal partai dibeberkan ke khalayak ramai? Bisa saja kita berkesimpulan itu sebuah upaya menggiring opini agar politisi yang dihakimi ini semakin banyak mendapat simpati dari konstituen yang berada di luar partai tersebut. Namun itu juga dugaan belaka.

Hal lain yang terjadi juga soal tiket naik ke bangunan Candi Borobudur yang telah ditetapkan tapi kemudian dibungkus lagi dengan pernyataan akan dibicarakan dengan Presiden. Hal itu seperti test A/B sebuah iklan digital yang bisa diturunkan dengan cepat jika responnya negatif. Mungkin memang beginilah cara berpikir di dunia yang semakin men-digital ini.

Menuruti petikan puisi di film Ada Apa Dengan Cinta; Kenapa tak goyangkan saja loncengnya biar terdera, atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai...Yang bisa dirasakan sebagai buat saja keonaran agar aku tahu arah mana yang seharusnya kupilih. Bukan hendak berkata; plin-plan betul ya? tapi justru menimbulkan pertanyaan; apakah kita tak pernah mengenal kata diskusi selama ini?

Sebetulnya, untuk menguji suatu opini, memang bisa dilakukan melalui perdebatan. Tetapi, perdebatan memiliki kecenderungan jatuh kepada perselisihan. Dan kita tahu semenjak ada debat terbuka calon pemimpin (kota, provinsi, bahkan negara) publik selalu terbelah setelahnya. Yang menang kurang mendapat dukungan dari pemilih yang kalah. Jadi, mengapa harus menguji opini dengan berdebat?

Saya teringat sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Dawud yang perkataannya kurang lebih seperti ini "Aku menjamin sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia sebagai pihak yang benar." Artinya perdebatan haruslah ditaruh pada bagian paling belakang dari kehidupan, mungkin dekat dengan perang. 

Paling tidak, sebuah berita meski belum tentu berita, bisa dilontarkan dengan cara yang nyaman bagi pendengarnya. Seperti lagu Ebiet G. Ade itu. Soal orang yang mendengar merasa sedih, merasa digurui karena hidupnya kok tidak melestarikan alam, atau tidak dekat dengan Tuhan, itu soalan lain. Yang pasti, seorang pembawa berita seharusnya tidak perlu menyelipkan opini bahkan penghakimannya pada berita tersebut.

Dan yang lebih penting sebenarnya, pastikan yang diceritakan itu adalah benar-benar berita. Bukan kabar burung atau opini kita sendiri terhadap kejadian yang belum tentu benar.**

Komentar